MENANTI
MENDUNG
Hari ini akhirnya datang. Hari
yang sangat aku nantikan. Sudah berbulan-bulan aku menanti hari ini. Dan
akhirnya datang juga. Aku menyambut pagi ini dengan senyuman termanisku.
“Mama, Dian
berangkat dulu ya!” kata ku sambil berlari ke arah pintu depan dengan semangat.
“Jangan lupa bawa payung sayang, di luar mendung, siapa tahu hujan,”
kata Mamanya penuh perhatian.
“Beres Ma”. Aku menjawab sambil mengambil satu payung lipat dan
memasukkannya ke dalam tas.
“Hati-hati Dian!” teriak Mama saat Aku mulai menjauhi rumahku.
Hari yang
mendung. Namun inilah yang kuinginkan. Ya, mendung. Membawa kesan tersendiri
untukku. Dengan semangat aku berjalan sambil terkadang sedikit berlari-lari
kecil, tapi bukan ke arah sekolah, melainkan ke sebuah perkampungan kecil. Di
sana ada sebuah sungai kecil yang dikelilingi rerumputan hijau. Aku duduk di
sebuah batu yang cukup besar untuk menikmati suasana sungai yang begitu damai.
Tidak banyak orang yang datang ke sana. Paling hanya beberapa orang saja
dengan sapi atau kerbau mereka yang dibiarkannya merumput. Tapi hari ini suasana
di sana benar-benar sunyi. Mungkin karena baru jam 6. Aku memang berangkat
lebih pagi khusus untuk hari ini. Mendung terlihat lebih pekat. Dan jam mungil
di lenganku pun sudah menunjukkan pukul 06.50. Menandakan 10 menit lagi gerbang
sekolah akan ditutup. Tapi di tempat itu tak ada tanda-tanda ada orang yang menyapaku seperti
dulu.
“Kemana ya dia?” Akupun mulai gelisah.
Sementara
mataku memandang kiri-kanan berharap dapat menemukan apa yang kucari. Kembali
kulirik jam tanganku. Kurang 5 menit lagi. Tak sabar aku menunggu dan akhirnya ku putuskan untuk
melanjutkan ke sekolah saja. Di sekolah entah kenapa aku benar-benar nggak
konsen sama pelajaran Bahasa Inggris yang biasanya selalu menarik bagiku. Yang
kupikirkan hanyalah tentang mendung, mendung, dan mendung. Kupandang ke luar
jendela, kosong. Hanya awan hitam yang mulai memudar ku lihat. Menyisakan
senyum mentari yang sempat bersembunyi di balik kelam.
‘Gawat, kalau hari terang aku gak akan bisa ketemu dia.’ pikirku.
Akhirnya
jam sekolah pun usai. Sesegera mungkin aku menuju sungai kecil itu. Dan masih
saja tak kutemukan orang yang cari. Akupun terduduk di rerumputan yang basah
karena gerimis dengan lemasnya. Aku mulai merasakan diriku terbawa ke
angan-angan yang jauh saat 1 tahun silam. Saat itu mendung begitu pekatnya. Aku
seperti menggantikan hujan membasahi bumi dengan air mataku yang tiada henti.
Hari itu hari yang sangat menyedihkan dalam hidupku. Baru saja aku kehilangan
orang yang sangat kucintai. Yudha, teman kecilku yang kemudian entah bagaimana
menjadi pacarku saat SMP. Yudha Meninggal karena kecelakaan tragis saat
buru-buru menemuiku yang sedang ngambek. Tak disangaka, sebuah bus yang melaju
cepat menyambarnya. Dan itu terjadi depan mataku. Saat itu pikiranku sangat
kacau. Aku sama sekali tak menghampiri Yudha yang terbaring lemah di tengah
jalan. Sementara itu orang-orang sudaah mengerumuninya. Aku hanya berdiri di
pinggir jalan. Mencoba menyadari apa yang terjadi. Sampai waktu pemakaman Yudha.
Aku masih belum mengerti tentang keadaannya. Aku merasa sangat bersalah dan
sangat terpukul oleh hal itu. Aku berlari, berlari dan terus berlari. Sampai
jauh meninggalkan Yudha yang tak berdaya. Akhirnya aku berhenti di sebuah sungai
kecil. Dan aku merasakan sesuatu yang sangat menyakitkan dalam hatiku. Aku
mencoba meluapkan perasaanku pada sungai dan pepohonan di depanku. Tentang Yudha,
tentang kekecewaanku, tentang semua rasa bersalahku. Sejak insiden kecelakaan
itu Aku belum mengeluarkan air mata setetespun. Entah kenapa aku tidak percaya
akan hal ini. Tapi, akhirnya menetes
juga air mataku tanpa bisa ku bendung. Aku terus menangis menyadari keadaan
yang sedang ku alami. Air mata ku bercampur dengan rintik air hujan dan isak
tangisku tenggelam dalam gemercik sungai yang menghantam bebatuan besar.
“Di sini bukan tempatnya buat nangis,” Kata seorang cowok yang tiba-tiba
ada di sebelah ku dan membuatku sangat terkejut.
Kuhentikan sejenak tangisku. Aku tak mau terlihat menangis di hadapan
cowok selain Yudha. “Suka-suka Aku dong!
Siapa Kamu nglarang-nglarang orang nangis?”kataku sambil ku usap air mata yang
membuatku tak nyaman.
Cowok itu
menoleh ke arahku. Begitu dekat hampir tanpa batas. Terlihat sangat jelas
bola matanya yang kecoklatan.
‘Mata yang sangat indah’ Gumamku. Tatapan seperti itu belum pernah ku
lihat sebelumnya. Tidak terlalu tajam, sejuk, kesannya ada suasana yang tenang
di dalamnya. Seakan-akan kita sedang menatap mendung yang membuat tenang.
“Pasti lagi nangisin pacarnya ya? Kenapa? Pacarnya selingkuh? Atau
diputusin?”tanya cowok itu.
Aku tak
menjawab.
“Oh, Aku tahu. Jangan-jangan pacar Kamu meninggal ya?”tanya cowok itu
membuatku berpikir, ’kok tahu’.
“Jangan sok tahu deh!” Aku mencoba menyangkal sambil menahan tangis.
“Kenapa harus ditangisin? Semua orang akan mengalaminya kan?,”kata cowok
itu.
Sementara
diriku masih larut dalam kesedihan.
“Kamu kesini karena
lari dari kenyataan kan? “ Tambah cowok itu yang semakin membuatku tak mengerti
kenapa dia tau perasaanku.
“Kenapa? Kaget ya Aku bisa tahu semua yang Kamu pikirin?”kata cowok itu
lagi.
Aku masih
tetap diam. Semua yang disebutin cowok itu benar.
“Kamu mau
ngomong sama cowok Kamu?”tanya cowok itu.
“Hah?” Aku
benar-benar tak mengerti apa yang cowok itu pikirkan.
“Ikut Aku!”cowok
itu menarik tanganku dengan sedikit paksaan yang sebenarnya tak ku suka. Tapi
aku tak sanggup berbuat apa-apa selain mengikutinya sampai di tepi sungai.
“Cepetan
ngomong!” katanya lagi. Aku hanya bisa bengong. Tak mengerti apa yang dia mau.
“Cepet, Kamu
ungkapin apa yang mengganjal di hati Kamu. Kamu bilang apa yang Kamu
kecewain. Kamu ungkapin apa yang belum sempat Kamu ungkapin, ”katanya lagi.
Aku mulai
mengerti kata-kata cowok itu. Aku terdiam sejenak dan berpikir tentang semua
kejadian ini. Aku rasakan tubuhku mulai bergetar. Pikiranku melayang. Kembali
terlintas Yudha dalam pikiranku. Tak kuasa ku bendung tangisku. Dan ku luapkan
semua kekesalan ku disana.
“Y-Yudha... A-aku... Aku seneng kita udah pernah pacaran. A-aku minta maaf...
Karena g-gak bisa ngeliat k-kamu d-di saat-saat terakhir kamu. Aku benar-benar
minta maaf. Maafkan aku Yudha. Maafkan aku.”. Aku tak kuasa lagi menahan tangis.
Aku menangis seperti anak kecil. Dan aku tak tau kenapa aku telah ada di
pelukan cowok tadi. Entah mengapa, tapi Aku mau saja mampir ke pelukan cowok
yang belum ku kenal itu.
“Aku kan udah bilang, di sini bukan tempatnya orang nangis,” katanya
sambil menenangkan diriku. Sesaat ku sadar, segera ku lepaskan pelukanku dari
cowok itu. Aku benar-benar sangat malu saat itu. Wajahku mungkin sudah seperti
tomat yang baru masak.
“Kamu siapa sih?”tanya ku sesaat setelah ku hapus air mataku yang
menghalangi pandanganku. Kini ku lihat cowok itu lagi. Sungguh mata yang indah.
Benar-benar dapat menenangkan hati siapa saja yang memandangnya.
“Aku Mendung,” jawab cowok itu.
“Hah?” Aku benar-benar heran. Cowok tinggi,agak kurus,berkulit sawo
matang,berambut ikal,dan yang pasti, memiliki mata yang sangat indah ini
bernama mendung. Yang benar saja. Apa ini lelucon? Pikirku dalam hati.
“Iya, itu
nama Aku Mendung. Karna Aku suka banget sama mendung. Dan Aku dilahirin pas
mendung.”
“Koq Mendung sih? Mendung kan identik dengan kekelaman?”
“Kelam? Nggak kali. Mendung itu tenang. Ga panas juga ga hujan. Suasana
yang cocok banget buat menenangkan diri saat kamu ada masalah.”
Mendung.
Sejak itulah kata itu selalu teringat dalam benakku. Begitu pula dengan kata-kata
terakhir sebelum kita berpisah.
“Dung, rumah Kamu di mana?”tanya ku padanya saat ia akan beranjak pergi.
“Di manapun Aku bisa bernafas, di situlah rumah Aku,” kata Mendung
sambil melempar senyum nakalnya.
“Terus kalo Aku pengen ketemu Kamu gimana?”
“Aku selalu ada di sini di saat mendung. Jadi kalo mendung datang aja ke
sini,”katanya sambil berlalu di antara sinar mentari yang mulai menyapu
gelapnya awan.
Sejak itu
Aku selalu berharap dapat bertemu mendung lagi pada suatu hari. Aku selalu
menantikan mendung datang. Tapi anehnya semenjak kejadian itu, hari selalu
cerah. Pernah Aku mencoba kembali ke sungai itu, tapi tak pernah kutemui
Mendung itu.
Sampai
hari ini, dimana mentari tak menunjukan sinarnya dan itu berarti aku bisa
bertemu mendung disini. Tapi mendung tak menyapa aku sedari tadi. Kilat dan
petir yang menyabar nenemaniku yang terbuyar dari lamunan-lamunan ku. Tak
terasa hari sudah mulai gelap. Dan sebentar lagi akan turun hujan. Tapi tak
juga kutemukan sosok seorang Mendung. Aku sangat kecewa. Mendung berbohong. Aku
pun berlari jauh meninggalkan sungai itu dengan kecewa.
Hari-hari
baru berlalu dalam kehidupanku. Sedikit demi sedikit ku coba untuk melupakan
Mendung. Sampai suatu hari, mendung begitu pekatnya menghiasi langit-langit,
dan perlahan hujan turun mengiringi suasana yang syahdu. Aku mulai mengalunkan
langkahku menuju sekolah seperti biasa. Dengan payung mungil berwarna ungu
dalam genggamanku. Ternyata hari itu ada topik baru di kelas. Aku sungguh di
kejutkan dengan gossip tentang adanya murid baru. Dan benar saja, ketika Bu
Herlin masuk ia membawa seorang murid baru. Seisi kelas pun bersorak. Kecuali
aku. Aku tak dapat berkata apa-apa saat melihat matanya. Mendung, Mendung
disini. Cowok itu adalh Mendung. Mendung yang selama ini kunantikan, muncul di
hadapanku.
“Mendung?”tanya ku spontan. Semua mata menatap ke arahku dengan heran.
“Udah dari tadi pagi kali mendungnya,”celetuk salah satu temanku. Ya
bisa juga sih di sebut musuh ku di sekolah.
“Bukan! Cowok itu. Cowok itu namanya Mendung!”kata ku sambil menunjuk si
murid baru.
“Mendung? Aku?“ Kata cowok itu dengan heran.
“Maaf, sepertinya kamu salah orang. Saya bukan Mendung. Nama saya Ryan.
Lagi pula nama macam apa itu Mendung?”
“Haaa....haa.....haa...“ Seisi kelas pun mentertawakan ku.
‘Dasar bodoh. Dia kan udah nggak ada. Lagipula cowok itu sepertinya sama
sekali nggak mengenalku.’ Aku pun menunduk malu. Cowok itu munuju bangku kosong
persis di belakangku. Aku semakin malu saja. Tiba-tiba, Cowok itu berhenti
tepat di hadapnku. Aku tak berani menatapnya. Tentu saja karena aku masih
sangat malu atas kejadian itu. Dia mengambil kertas yang terjatuh di bawah
tempat dudukku dan menuliskan sesuatu di atasnya. Aku mencoba memandangnya
sekali lagi. Dan kulihat matanya sama persis dengan mata Mendung. Dan tatapan
itulah tatapan yang kulihat pertama kali
bertemu dengannya. Cowok itu menaruh kertas di atas mejaku lalu kembali kulihat
senyum nakal Mendung hingga dia duduk di tempatnya. Aku menemukan tulisan
dengan warna berbeda dalm kertas di atas mejaku. Aku pun membacanya dan betapa
terkejutnya aku melihat tulisan itu. “DIAN, AKU TELAH KEMBALI, MENDUNG !!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar